Aku Ingin Jadi (seperti) Bapak Supir Angkot


Salahkah doaku itu ketika kukatakan aku ingin jadi (seperti) supir angkot? Sebab katanya apa yg keluar dari mulut kita adalah doa.

Saat aku memutuskan menuliskan cerita ini, kondisinya aku baru tiba di rumah sekitar 45 menit setelah petualangan sepanjang hari. Cerita ini mulai kuketik sekitar pukul 21.30 setelah terakhir kulihat waktu di ponsel begitu kakiku turun dari angkot di pukul 20.47.

Aku bangun pagi pukul 05.35. Lalu bergegas ke sekolah. Dilanjutkan dengan mengikuti ibadah penghiburan bagi keluarga atas meninggalnya seorang mantan guru Bahasa Inggris semasa SMA yg jadi rekan kerja & rekan sepelayanan 5 tahun terakhir. Setelah itu aku lanjutkan mengajar privat hingga pukul 19.30. Lalu makan di warung nasi goreng hingga pukul 20.10- tentu semua kegiatan tadi mengikuti standar protokol kesehatan yg berlaku: menggunakan masker, mencuci tangan dgn sabun atau hand sanitizer serta menjaga jarak aman, baru pulang ke rumah dengan menumpangi sebuah angkot yang kupikir sudah tak beroperasi. Sejak kehadiran ojek online, jumlah angkot yg beredar di sekitaran rumah sangat jauh berkurang bahkan ada yang punah karena jumlah peminat angkot menurun drastis. Ditambah kondisi pandemi seperti ini. Jam angkot yg biasa mengantarku hingga ke depan gang rumah hanya sampai pukul 20.00. Kalau pun masih ada setelah jam itu, biasanya karena searah jalan pulang ke rumah.

Angkot berwarna merah bata, kata kebanyakan orang, yg menurutku warna oranye (saya bukan ahli warna) dengan nomor punggung 44 kali ini seolah angkot yg disediakan khusus untuk mengantarku pulang. Setelah selesai makan kwetiau goreng, sempat kuhabiskan waktu untuk memutuskan pulang naik ojek (online), minta dijemput atau jalan kaki. Saat kucek tarif ojek online harganya cukup mahal dengan jarak 1.2 KM aku harus membayar Rp 15.000. Kalau minta dijemput aku tak mau repotkan orang rumah yg mungkin sudah bersiap tidur. Jalan kaki aku tak sanggup. Dengan pertimbangan tersebut kuputuskan aku akan jalan kaki sekitar 500 meter lalu naik ojek pengkolan yg menurut hitunganku akan jauh lebih murah (dan bisa ditawar).

Dari tikungan tempatku berbelok, kulihat ada 1 angkot dengan lampu menyala dan supir yg mencoba memperhatikan spion. Lalu ditengoknya ke arahku sambil melambaikan tangan tanda mengajak. Langkahku kupercepat. Lalu kutanya sang supir, "bapak masih narik? Masih mau ambil penumpang?" Sang supir yang sudah sangat tua itu tersenyum lebar dan semangat menjawab, "iya..ayo neng..saya antar". Semangatnya menular. Sukacitaku makin tambah: tak perlu jalan jauh, tak perlu bayar mahal. Dengan angkot aku hanya perlu bayar sekitar Rp 3000 - Rp 5000 (tergantung keadaan apakah supir punya kembalian atau tidak).

"Neng, tunggu 5 menit boleh?", tanyanya sambil hendak keluar angkot.

Tak ada perasaan takut atau kesal justru dalam hatiku kujawab "nunggu setengah jam lagi juga tak apa, Pak sambil nunggu sewa lain biar makin banyak uangnya". Tapi karena aku masih dalam kondisi ngos-ngosan akibat berlari-lari sehabis makan, aku hanya mampu jawab singkat dengan senyuman, "nggak apa-apa, Pak". Kulihat beliau membuka tutup tanki pengisian bensinnya. Setelah itu mencuci tangannya yang kukira dicuci dengan bensinπŸ˜‚πŸ˜‚Aku panik karena bau bensin yang tajam & suara air yg dituang dari botol.

"Pak..mau ngapain?! Itu cuci tangan pakai bensin?!"😨😰, tanyaku panik dengan rasa penasaran tinggi. Akibat kebanyakan nonton berita kriminal sempat terbersit di benakku, "kan gak lucu besok ada berita di koran / tv judulnya seorang gadis cantik yg masih jomlo gosong dalam angkot yang meledak akibat supir cuci tangan dengan bensin." Si bapak tertawa lepas, "neng..neng..biar dikata nggak ada sewa mah Bapak masih waras...nggak mungkin cuci tangan pake bensin. Mendingan dipake buat mandi..."πŸ˜‚πŸ˜‚πŸ˜…

"Waduuuuh...ini lebih ngeri lagi", pikirku sambil menelan ludah.

"Hahahahahah...jangan takut neng..nggak usah panik..itu tadi air biasa buat cuci tangan krn tangan saya bau bensin."

Fiuuuuh...nampaknya Bapak ini dulu coachnya warkop DKI. Dia suka bercanda. Selera humornya bikin saya nyaman meski menunggu sendiri di angkot. Mirip senyum & tawamu dulu yg bikin aku nyaman meski aku tahu bagiku tak ada harapan jadi kekasihmu... om telolet oooom....πŸ˜πŸ˜‚πŸ˜…

Lalu beliau kembali duduk di kursi supir, menyalakan mesin lalu mulai berjalan. Kondisi jalan yang macet karena jalur keluar masuk tol ditambah beberapa kendaraan besar yg melintas membuat perjalanan terasa panjang. Dan kini hanya ada aku...dan Pak Supir sesaat di dalam angkot...Aku tak berani pegang ponsel dalam keadaan seperti itu. Di sisi lain, suasana hening. Kuputuskan ngobrol dengan Pak Supir. Posisi dudukku yg tepat di belakangnya membuat komunikasi kami lancar namun bak 2 orang bermusuhan yg tak bisa saling tatapan.

Kami melakukan bincang santai alias talk show di angkot. Saya mulai ajukan pertanyaan pertama, "sekarang angkot sudah mulai sedikit ya, Pak. Ada berapa jumlah angkot 44 sekarang, Pak?" Beliau menjawab dengan ramah hingga pertanyaan terakhir. Jawaban-jawabannya memberi wawasan baru mengenai dunia perangkotan di sekitar rumah. Pertanyaan dari setoran hingga profile supir angkot jadi topik utama obrolan kami. 

Hingga kuajukan pertanyaan terakhir yg juga pertanyaan pamungkas mendekati gang rumahku, "Pak, bukannya angkot narik maksimal jam 8 (malam) dari Komsen (pangkalan/tempat ngetem angkot) ya? Kenapa tadi Bapak masih ngetem padahal udah lewat jam operasional?"

"Sebenarnya mah neng sampai jam 9 angkot-angkot masih boleh (narik)..cuma karena penumpang hampir nggak ada lagi di jam2 segitu jadi ya pada pilih pulang lebih dulu..daripada masuk angin kan lama-lama sementara belum tentu ada sewa juga. Kalau saya masih narik karena ketepatan waktu nariknya sore sampai Komsen. Saya sering tungguin sampai jam 20.30an dan barusan memang habis antar orang udah tua dari Cibubur sendirian. Kasian saya mah neng...sebetulnya tadi mau pulang..capek..udah mau istirahat cuma karena kasian sama orang tua itu jadi saya antarin aja...cuma saya bilang saya akan antar tapi jalannya pelan aja karena nggak kuat. Eeh dianya mau..yaudah saya antar. Saya punya prinsip neng kalau masih kuat hayu aja jalanin...narik biar dikata yg sewa (penumpang) cuma 1 atau 2 orang..bukan soal duitnya sih kadang-kadang..kasian aja neng...belum tentu uangnya cukup buat naik ojek online. Udah gitu resiko nyawa melayang kalau kecelakaan lebih besar daripada naik angkot."

Saya mulai kesulitan bicara mendengar jawabannya..mata mulai berkaca-kaca.

"Love is (still) in the air." Kasih masih ada dalam dunia. Bapak ini salah satu agent of love. Masih pikirkan & pedulikan orang lain. Lalu kutanya pertanyaan yg benar2 terakhir, "maaf, Pak kalau boleh tahu usia Bapak berapa ya sekarang?" Beliau tertawa lepas lagi sambil bercanda berkata, "mau jujur apa boong neng?" Belum sempat saya jawab beliau menimpali, "jujur aja ya neng..kalau boong saya dosa kan nanti..umur saya baru 64..."

Di tengah rasa ketidakpercayaan saya akan jawabannya, saya usaha memikirkan jawaban tepat untuk membalas candaannya. Akibatnya gang rumah terlewat sekian meter. Buru-buru saya minta Pak supir hentikan angkotnya. Saya beri uang dengan nominal lebih sebagai bentuk apresiasi & rasa terima kasih saya karena beliau sudah seperti malaikat yg mengantar saya pulang sambil mengajar & mengingatkan saya. Itu pun dia masih teriak & menekan klaksonnya memanggil saya. Ketika saya menatapnya sambil menahan air mata, kulihat senyuman lebar yg masih sama saat naik angkotnya menyambut lagi diiringi pertanyaan, "jangan langsung kabur...ini duitnya gede banget (nominalnya) nggak ada uang pas? Saya nggak ada kembalian." Saya hanya berkata, "itu buat Bapak aja. Terima kasih banyak, Pak sudah antar saya pulang malam ini. Sehat selalu. Tuhan memberkati Bapak ya...", lalu saya berlari memasuki gang gelap dan air mata tertumpah.

Perasaan saya berkecamuk, campur aduk...ada rasa senang karena bisa pulang naik angkot bersama malaikat dalam wujud supir; bangga ternyata masih ada orang sebaik bapak supir namun juga malu. Malu karena kemanjaan, kesombongan, keegoisan dalam diri yg masih sering muncul. Hari ini saya masih bisa kerja..dibayar dengan nominal pasti, diberi fasilitas enak tapi seringkali saya mengeluh bosan, letih dan berpikir untuk berhenti. Usia saya sangat jauh lebih muda, lebih produktif dari bapak supir yg harusnya sudah pensiun menikmati hari tua...bagaimana dengan saya (dan kamu) ???

Kalau YESUS memberi teladan dengan standar sangat tinggi: mengasihi & menyelamatkan ke 12 murid, janda, pelacur, bahkan Farisi & Saduki- para pendosa di seluruh dunia dari ribuan tahun dan jutaan generasi, aku belum sanggup meniruNya. Hari ini, doaku kiranya aku bisa jadi seperti Bapak, sang supir angkot. Meneladani ketulusan, memiliki hati gembira yang diimbangi kemurahan & masih menghargai waktu serta kesempatan.

Terima kasih banyak, Pak Supir...

Hari ini sudah menegur saya dengan cara elegan. Mengajari saya melalui praktik langsung tentang artinya kebaikan, ketulusan, kesetiaan & pengabdian. Di saat ada pilihan untuk berhenti, beristirahat atau bahkan bermanja-manja kau malah pilih untuk tetap bergerak, kerja & menebar cinta dengan segala resiko, di batas kekuatanmu. Kau rela berjuang lebih lama di jalanan yg kotor, ribut & jahat untuk 1 atau 2 orang sewa yg belum tentu ada, yg bisa jadi punya niat jahat, yg bahkan kau tak kenal.

Semoga di perjalanan pulang berikutnya kita masih bisa ketemu & bertukar cerita lagi ya, Pak. Tuhan melindungi senantiasa & memberkatimu dengan kebahagiaan dunia akhirat. Amin!

Dari penumpangmu yg diberkati,

RaphπŸ’—πŸ˜

 


Comments

Post a Comment