Pria Tanpa Dompet

Sore ini aku kembali pulang dengan menaiki angkutan kota atau angkot. Tak ada hal baru. Angkot yang melintasi rute ke rumah masih berwarna merah dengan nomor punggung 02. Jalanan yg dilalui juga masih sama. Para pedagang makanan gerobak, beberapa pangkalan ojek, rumah makan dan 2 atau 3 toko juga swalayan pada sisi kiri dan kanan jalan serta antrian kendaraan di jalan raya yang kian hari makin parah.

Suasana di dalam angkot pun demikian, tak ada yang segar. Tampak wajah lesu para penumpang yang menuju ke peraduannya seusai menyelesaikan aktivitas sepanjang hari terang. Di pojok angkot, seorang pemuda dengan handsfree menutup kedua telinga sambil menggeser layar ponsel ke atas dan bawah. Di hadapannya duduk perempuan muda mengenakan blazer abu yang sibuk dengan isi tasnya. Sementara saya duduk tepat di ujung kursi dekat pintu angkot. 

Suasana angkot kali ini cukup "hidup" karena perbincangan beberapa orang perempuan mengenai pemimpin di kantornya. Dan seorang Bapak tua berkumis duduk di bangku yang berada persis di belakang kursi pengemudi, dihimpit oleh wanita yang asik berbincang dengan rekannya yg duduk di sebelah kananku. Usianya sudah melewati usia pensiun dugaanku. Rambutnya berwarna putih sempurna menutupi seluruh bagian kepalanya. Kulit wajahnya tak lagi sekencang usia anak remaja serta posisi badan yang mulai membungkuk bahkan saat duduk. Dikenakannya juga kacamata dengan frame hitam tebal menggantung di ujung hidungnya yang tak begitu mancung. Dia bukan pulang kantor pikirku, meski mengenakan sepatu pantofel yang senada dengan warna hitam kaus kakinya. Tampilannya tetap rapi nan sederhana. Ia mengenakan atasan kaos berkerah berwarna marun lusuh dengan kopiah putih yang tampak belel dan usang.

Perjalanan yang sangat panjang dan melelahkan bagiku. Sambil menyandarkan kepala ke bagian kaca angkot, aku tatap pria tua yang duduk di hadapanku itu. Mencoba menebak-nebak darimana atau hendak kemana pria setua ini di hari petang begini. Di saat pikiranku penuh dengan pertanyaan mengenai dirinya, pria itu merogoh kantong kaos marunnya. Dia keluarkan semua benda yang ada di dalamnya dengan kepala menunduk mendekati apa yg digenggamnya. Ia mendekatkan barang-barang yg ditangannya ke arah matanya. Mungkin hanya berjarak 3-5 senti. Kulihat beberapa lipatan kertas putih serta beberapa lembar uang muncul dari genggaman tangannya yang gemetaran itu. Lipatan lembaran uang 100 ribuan, 50 ribuan dan beberapa uang receh tampak berantakan. Lalu 2 lembaran uang 10 ribuan jatuh. Saat hendak mengambilnya, lembaran uang lainnya yg masih di dalam kantong ikut terjatuh. Karena staminanya yang tak lagi sekuat dan secepat teruna itu perlu waktu cukup lama untuk ia bisa membungkukkan badan dan mengambil uangnya yang jatuh. Lalu wanita di hadapanku yang berbincang dengan rekannya yg duduk di sebelah kananku berinisiatif membantunya.
Saat wanita itu sedang mengambil lembaran uang kertas tadi, tiba-tiba uang logam si pria tua kembali jatuh. Ada fenomena lucu namun sedikit menyebalkan sebenarnya. Tak berapa lama semua uang tadi kembali ke pemiliknya dan masuk kembali ke kantong baju si pria tua.
"Terima kasih ya Mbak..maaf sudah merepotkan", sapa si Bapak tua tadi dengan napas tersengal-sengal dan senyum lebar kepada wanita yang membantunya tadi. Si wanita dengan senyum menjawab, "sama-sama, Pak."

Rekan si wanita tiba-tiba menimbrung, "Bapak kenapa nggak taro di dompet saja itu uang dan kertas-kertasnya? Kan biar aman, Pak..kalau jatuhnya pas lagi di jalan dan tiba-tiba ada angin, bisa hilang uang dan kertas-kertasnya, Pak.. kalau penting kan bahaya.." Sambil tersenyum, aku baru sadar tampak gigi si pria tua sudah tidak lagi lengkap kembali menjawab, "anu Mbak..justru kalau pakai dompet bisa hilang semua..saya kan sudah tua, kalau naik angkot atau metro mini taro di dompet lalu hilang nggak berasa..nggak ketahuan.. kalau pun ketahuan dicopet saya sudah nggak kuat lari buat kejar.. jadi taro di kantong saja.." Kemudian semua perhatian penumpang, termasuk aku, tertarik pada pembicaraan si Bapak tua tersebut dengan 2 penumpang wanita yg sejak tadi asik dengan obrolan mengenai bos uniknya- kita sebut saja Mbak Bunga dan Matahari. "Lah emang Bapak darimana ini?" 

"Anu mbak..mau pulang, mau dagang.."
"Bapak baru pulang dagang maksudnya?", tanya Mbak Bunga untuk memperjelas.
"Anu..saya dari rumah anak saya dulu tadi di Cakung. Nah ini mau pulang biar bisa dagang."
"Lah emang rumah Bapak dimana? Dagang apa Pak?", timpal si Matahari.
"Rumah saya di daerah Jati Mekar. Saya sama istri dagang sate di rumah."
"Kok sendirian aja, Pak?"
"Maunya sama istri bisa sama-sama nengok anak..tapi kalau dua2nya pergi nggak ada yang dagang nanti."
"Iya, Pak..kalau pergi sendirian gitu pakai dompet Pak.. kasian Bapak kalau uangnya jatuh-jatuhan gitu..", saran Bunga.
"Usia sudah segini, Mbak..belajar ikhlasin aja semua.. kalau uangnya pada jatuh terus hilang, udah saya anggap aja sedekah.. paling ilang selembar dua lembar.. nah kalau pakai dompet kan, kalau dompetnya diambil, dicopet, ilang semua nggak nyisa.. nggak bisa pulang nanti karena nggak punya ongkos. Kalau di kantong kan selembar dua lembar hilang.. kalau pun banyak yang hilang, kan masih ada yg dikepal di tangan.. masih ada sisa selembar dua lembar bakal ongkos pulang..", jelas si Bapak tua dengan irama tak beraturan dengan senyum yang masih konsisten. "Bapak hebat.. sehat terus ya, Pak..hati-hati saat pergi sendiri.. kalau emang uang-uangnya ditaro kantong, dipisahin aja Pak mana yg mau dipake ongkos, mana yg mau disimpan", Bunga kembali menyarankan.
"Matur suwun, Mbak yu sudah mau mengingatkan.. tapi ya saya belajar ikhlas.. manusia kan emang semua pulang lagi ke Gusti Allah, hanya cara dan waktunya beda-beda. Saya berdoa sama Allah supaya kalau meninggal dalam keadaan khusnul khotimah, sewaktu sujud shalat..udah nggak ada yang lain yang saya doakan di usia segini..hahahaha", tawa si bapak tua dengan matanya berbinar tampak dari lensa kacanya yg buram. "Amin ya, Pak!" Bunga dan Matahari masih asik dengan obrolan bersama bapak tua nan bijaksana tersebut.

Sementara mereka asik dengan sesi bincang dalam angkot, pikiranku masih mencerna perkataan pria tua berkacamata itu. "Bagaimana bisa dia berpikir seperti itu? Kalau pakai dompet justru baginya tak aman sementara tanpa dompet dia yakin dia selamat dan bisa tetap bisa sampai ke rumah? Bagaimana bisa dia begitu yakin bahwa ajal menjemputnya dengan cara yang mulia seperti yg dia ujarkan? Bagaimana bisaaaaaa....???"

Aah.. hidup... terima kasih! Lagi-lagi perjalanan yang seharusnya membosankan dan melelahkan justru memberi pelajaran dan memberi jiwa ini asupan. Si bapak tua dengan penampilan sederhananya ternyata menyimpan hal berharga yang bisa menyuntikkan semangat. Memunculkan kembali harapan yang hampir mati karena kejamnya realitas keadaan. Ya bapak tua, terima kasih untuk pelajaran singkat selama perjalanan pulangku. Kiranya ikhlasmu, kemurahan hatimu serta iman percayamu bisa kuamalkan juga dalam perjalanan hidupku menuju jalan pulang kembali ke rumah Tuhanku. Semoga nanti kita bertemu dalam angkot perjalanan menuju surga.


Ditulis pada Senin, 19 Februari 2018

Comments