(ber)DAMAI

#sebuah catatan refleksi
Natal hampir tiba. Biasanya ada suasana dan kata-kata yang erat kaitannya dengan hari Natal seperti kata hadiah, kasih, sukacita dan damai. Saya sangat berharap setiap hari kata-kata tersebut diucapkan dan dipraktikkan tidak hanya di momen-momen tertentu saja tapi setiap hari. Mungkin kenapa kata-kata tersebut sangat kental terasa pada suasana Natal karena hari Natal adalah momen kelahiran Yesus Kristus sebagai hadiah terbesar buat umat manusia. Kelahiran-Nya adalah bentuk pengutusan Allah untuk mengirimkan Kristus sebagai Anak Allah dalam memberi contoh atau teladan bagaimana seharusnya manusia hidup. Melalui standar hidup yang ditunjukkan Yesus tersebut manusia diharapkan mengerti apa itu kasih dan dapat meneruskannya kepada sesama. Dengan begitu terciptalah damai yang membawa sukacita. Ini hasil perenungan saya lho yaaa..
Saya tertarik dengan kata damai. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia (online), damai berarti tidak ada perang; tidak ada kerusuhan; aman: tenteram; tenang: keadaan tidak bermusuhan; rukun: Salah satu tujuan Yesus diutus ke dunia adalah untuk mendamaikan umat manusia yang jatuh ke dalam berbagai dosa, kelemahan dan sakit penyakit agar bisa diterima & layak di hadapan Allah Bapa melalui peristiwa penyiksaan dan penyaliban Yesus di kayu salib (Roma 6:6; 2 Kor. 13:4; Efesus 2:16; Kolose 1:20; Kolose 2:14; Ibrani 12:2; 1 Petrus 2:24).
Dari kesaksian tentang Yesus tersebut saya coba renungkan aplikasinya dalam hidup saya. Sejujurnya saya butuh waktu cukup lama untuk bisa memahami apa itu damai dan bagaimana menciptakan hidup yang aman, tenteram, tenang dan tidak bermusuhan dengan apapun dan siapa pun. Hingga pengalaman dari peristiwa yang terjadi hari ini mengajarkannya kepada saya.
Adalah seorang murid perempuan, sebut saja namanya Berlian. Dia adalah murid saya yang duduk di kelas 10 (tingkat 1) jurusan perhotelan. Selama ini di kelas tidak ada tingkahnya yang aneh atau menarik perhatian saya. Dia pendiam dan, awalnya, saya berpikir dia bisa mengikuti pelajaran dengan baik. Hingga di pertengahan semester saya mulai menemukan gejala masalah belajar pada anak ini. Suatu hari saya meminta anak-anak untuk melakukan sebuah diskusi tugas kelompok. Pada saat saya berkeliling mengawasi, saya melihat anak ini berjarak agak jauh dari teman kelompoknya. Saya tanyakan apa masalahnya dan teman-teman kelompoknya kompak menjawab, “kami bingung tugas apa yang bisa kami berikan buat Berlian karena dia kurang bertanggung jawab, kami takut nilai kelompok kami jadi berkurang karena tugas kami tidak selesai sempurna jika dia tidak menyelesaikan bagiannya.” Sejak saat itu, saya cukup memantau proses belajar anak ini. Benarlah apa yang dikatakan teman-temannya tersebut. Pada saat presentasi, Berlian tidak mampu menjawab satu pun pertanyaan dari teman-temannya dan saya. Bahkan saat presentasi, dia hanya mampu mengucapkan 1 atau 2 kalimat itu pun dengan suara sangat pelan. Hal ini menyebabkan dirinya harus mengulang sendiri tugas presentasinya karena performanya yang kurang maksimal sehingga tidak mencapai target atau standar maupun tujuan pembelajaran.
Saya ambil waktu personal dengan anak ini. Ternyata dia sangat bermasalah yang sempat membuat saya marah dan jengkel. Saya dan wali kelas memintanya untuk datang pagi hari sejak usai pengambilan rapor untuk mengejar ketertinggalannya karena ada banyak tugasnya di blok ini yang belum selesai. Dia datang tapi dia tidak menginformasikan dan tidak menemui saya maupun gurunya. Waktu berlalu. Hari pertama ia datang dan hanya menunggu saya dan wali kelasnya di luar ruang guru tanpa inisitiatif untuk bertanya. Hari kedua, hari ketiga ia melakukan hal yang sama. Saya menunggu dan berharap anak ini berinisiatif masuk atau menanyakan keberadaan saya atau wali kelasnya, dan ternyata ini masalah besarnya: Berlian minder akut, Saya mengalah dan akhirnya saya yang menghampiri dan menjemput anak ini. Saya menanyakan beberapa pertanyaan dan lagi-lagi saya tidak mendengar sepatah kata pun keluar dari mulutnya bahkan jawaban “ya” atau “tidak” pun tak terdengar. Ibu Berlian bekerja di sekolah sebagai staff petugas kebersihan (cleaning service). Karena saya habis akal dan hilang kesabaran saya meminta anak ini mengantarkan saya ke tempat dimana ibunya biasa bertugas dengan harapan ibunya memberi saya masukan apa yang bisa saya lakukan untuk membantu putrinya. Saya dibawa ke gedung seberang kantor saya. Pada saat saya datang, ibu Berlian sedang membersihkan toilet lantai 3 gedung tersebut. Berlian tidak memanggil ibunya dengan berkata-kata. Ia hanya menyentuh pundak ibunya dan menunjuk ke arah saya. Benar-benar membingungkan buat saya. Si ibu meletakkan alat kerjanya dan menemui saya. Saya ceritakan masalah yang terjadi. Si Ibu dan Berlian hanya bertatapan dan tidak banyak percakapan terjadi. Singkat cerita saya kembali mengajak si Ibu berbicara. Ibu Berlian mulai bercerita. Ia ceritakan keadannya dan anggota keluarganya satu per satu. Hingga di tengah-tengah perbincangan, mata si Ibu mulai berkaca-kaca dan akhirnya tak kuasa menahan air mata yang ditahannya sejak tadi. Dengan air mata yang mengalir deras, si ibu terus menceritakan beban, pergumulan dan keluh kesahnya yang menurut saya sudah dipendamnya sejak lama. HIngga di suatu titik, si Ibu mulai menceritakan kisah kelahiran Berlian.
Berlian, kata sang Ibu, sesungguhnya anak yang tidak diharapkan lahir. Bahkan jauh sebelum si Ibu mengandung, ia pernah berdoa kepada Tuhan agar jangan ada anak perempuan yang lahir dari rahimnya. Katanya, ia takut karma akan menimpa anak perempuan akibat ulah sang suami yang sejak masa muda suka mempermainkan perempuan. Namun, tak ada satu pun manusia yang bisa menolak atau menahan kuasa Sang Pencipta. Berlian lahir, sebagai anak perempuan, anak ke tiga dalam keluarga. Anak ini dilahirkan bersama dengan rasa takut, trauma, kemarahan dan kekecewaan sang Ibu terhadap masa lalu. Dan karena rasa trauma dan takut tersebut, baik si ayah maupun si Ibu tidak mampu fokus dalam mendidik dan membesarkan Berlian dengan cinta, kasih dan perhatian yang wajar. Si ibu mengakui, sejak umur satu tahun Berlian sakit-sakitan. Pertumbuhannya terlambat. Ia baru bisa berjalan di usia 5 tahun. Bahkan saat masuk taman kanak-kanak (TK), Berlian sangat kurus, dan tidak dapat bicara hingga guru-gurunya di TK menganggap Berlian bisu. Berlian menghabiskan waktunya di TK selama empat tahun. Dan saya baru mengetahui, bahwa usia Berlian saat ini sudah lebih dari 18 tahun. Hal yang paling menyedihkan adalah ketika si Ibu mengakui bahwa ia dan suaminya seringkali memukuli, mencubit dan melakukan kekerasan fisik lainnya tiap kali Berlian melakukan hal yang menguji kesabaran mereka.
Saat mendengar pengakuan demi pengakuan dari sang ibu, hati saya berdecak. Saya marah, sedih namun kasihan di saat bersamaan. Saya tidak sanggup berpikir lagi dan kehabisan kata-kata. Tak ada yang bisa disalahkan dan dituntut. Belasan tahun sudah terjadi pola asuh dan komunikasi yang tidak sehat. Hanya satu akar permasalahannya: belum terjadi pendamaian antara ibu dan ayah, orang tua dan anak. Saya sempat menanyakan apakah Berlian tahu mengenai kisahnya. Si Ibu berkata bahkan ayahnya tak tahu apa yang dirinya pikirkan dan rasakan saat ia mengandung Berlian. Karena saya teringat jam kerja si Ibu, setelah selesai becerita saya memberanikan diri untuk mendoakannya dan menyarankan supaya ada pendamaian yang harus terjadi dalam keluarga. Si Ibu harus berani menyatakan perasaannya selama ini kepada ayah Berlian dan sebaliknya. Dan saling memaafkan antara satu dengan yang lain. Mereka harus mencari waktu untuk berdoa, duduk bersama dan belajar mengomunikasikan perasaan masing-masing agar setiap mereka bisa saling belajar memahami satu dengan yang lain, di waktu yang tepat dengan cara yang tepat.
Singkat cerita, Berlian saya ajak kembali ke ruangan saya. Di situ saya mencoba mengajaknya lagi berbicara. Sekarang tujuan saya hanya satu, membuat anak ini berani berbicara dan menyatakan isi perasaan dan apa yang ada di pikirannya. Saya simpan sejenak keinginan saya untuk membuat anak ini bisa berbicara dengan Bahasa Inggris. Tidak banyak yang berubah sejak kami bertemu dengan ibunya. Saya menanyakan Berlian beberapa pertanyaan santai seperti apa hobinya, apa cita-citanya. Hingga tiba-tiba dia menangis saat saya tanyakan, “apa pekerjaan Ibumu?”, “apa perasaanmu melihat Ibumu bekerja sebagai petugas kebersihan sekolah?, “apakah kamu menyayangi Ibumu?”Jawabannya singkat. Berlian berkata, ia sangat sayang ibunya tapi di saat yang sama ia juga takut dan kesal dengan ibunya yang sering membentak dan mencubitnya setiap kali dia bersalah. Saya kembali connecting the dots. Si anak menangkap kemarahannya ibunya dan perasaan marah itu pun tertanam dalam dirinya. Di sini tidak ada damai, karena terjadi pertentangan atau permusuhan dalam diri anak dan orang tua. Saya tidak bisa berbuat banyak saat ini selain mengingatkan betapa berharga dan betapa ia sangat dicintai. Dia kembali menangis. Saya sangat ingin bisa membantunya menghancurkan tembok kemarahan yang terbangun dalam jiwanya. Tapi saya tahu saya terbatas. Hanya karena pertolongan Tuhan sendiri ia bisa pulih dan sanggup mengampuni dan menerima orang tuanya dan tetap mengasihinya.
Saya benar-benar belajar dari kisah Berlian hari ini. Ketakutan, kemarahan, kekecewaan bahkan rasa trauma di masa lalu sungguh-sungguh berpengaruh pada perjalanan hidup. Masa lalu tak akan bisa dilupakan sekeras apa pun kita mencoba. Yang baik untuk dilakukan adalah menerimanya, agar tidak ada permusuhan dalam batin dan belajar menangkap makna dari peristiwa yang terjadi dan disitulah kita berdamai. Pendamaian itu terjadi ketika kita bisa menangkap makna bahwa peristiwa di masa lalu terjadi adalah sebuah proses untuk mendewasakan dan membentuk kita jadi pribadi yang kuat, bijaksana dan penuh kasih- jadi pribadi yang lebih baik. Peristiwa di masa lalu yang terjadi, jika itu baik kita tak dapat mengulangnya; jika itu peristiwa buruk, kita tak dapat memutar kembali waktu dan mengubahnya jadi baik. Kabar baiknya, peristiwa di masa lalu itu mengajarkan kita untuk tidak kembali mengulang kesalahan yang meyebabkan peristiwa buruk di masa lalu terjadi lagi, dan memperbaiki atau meningkatkan hal baik yang kita lakukan untuk menciptakan momen indah dan membahagiakan di masa sekarang dan di masa depan.
Sama sepert Yesus yang harus disalib, untuk menebus dosa-dosa umatNya di masa lalu dan agar setiap orang yang lahir setelah peristiwa penyaliban-Nya mampu percaya bahwa Ia pernah ada di posisi sebagai manusia yang punya kelemahan tapi tetap bisa menang menggung semua kelemahan dan penderitaan tersebut. Yesus mendamaikan dengan memberi diri-Nya menanggung semua dosa, kesalahan dan pelanggaran umat manusia tanpa menuntut Bapa, tanpa mempersalahkan Allah Bapa di surge atas penciptaan dunia dan seisinya.
Jika Yesus sudah mengasihi umat manusia dengan memberi diri-NYA disalibkan untuk mendamaikan kita dengan Allah, apakah kita mau dan mampu memberi diri dengan menerima dan bersyukur atas hidup kita dan seluruh peristiwa yang terjadi selama perjalanan di dunia masih berlangsung???


Ditulis pada hari Jumat, 14 Desember 2018

Comments