Tulisan ini saya tuliskan sebagai bahan belajar hasil perenungan
dan refleksi dalam perjalanan menjadi seorang pendidik (sejati). Sebagai bentuk
peneguhan atas kesempatan dan keyakinan pada sebuah panggilan di tengah
banyaknya kekurangan dan pergumulan.
Beberapa
waktu belakangan saya banyak menghabiskan waktu dan energi untuk mencari tahu
dan mempelajari soal "anak baik": apa dan siapa itu anak baik;
standar atau kriteria anak baik, mengapa harus menjadi yang baik, bagaimana
menjadikan seorang (anak) menjadi baik dan bagaimana pula sikap serta tindakan
yang perlu dan harus diambil ketika kita mendapati seorang anak yang tidak baik
(apalagi anak yang kita kenal-terlebih anak sendiri). Namun karena saya belum
memiliki anak secara biologis, anak baik yang saya maksud disini merujuk pada
anak didik.
Setelah
membaca beberapa buku, jurnal, artikel dan mendengar sejumlah cerita dari pakar
dan yang berpengalaman (para orang tua yang memiliki anak), yang saya temui
adalah tidak ada standar mutlak atau kriteria "yang dibakukan"
seperti apa itu anak baik. Karena "baik" itu sesuatu yang subjektif
sehingga bentuknya sangat relatif dan variatif. Ada yang menyebut anak baik
adalah anak yang penurut dan patuh terhadap segala macam aturan, ada yang
berekspektasi anaknya menjadi sosok yang peduli, ada yang mengharapkan anaknya
baik dalam hal keagamaan, bahkan ada yang berpendapat anak baik itu anak yang
ramah, sopan, rajin menabung dan tidak sombong. Kesimpulannya, setiap orang
berharap "sosok yang tersaji" di hadapannya sesuai dengan selera
masing-masing individu. Kalau saya yang ditanya, anak baik versi saya itu
yaaaa....yang rasanya gurih dengan lumuran saus pedas manis di atasnya,
memiliki tekstur yang garing (krispi) di luar dan lembut di dalam apalagi saat
gigitan pertama bisa memberi sensasi dingin dan ada manis-manisnya gituuu kayak
akuuu #Nyari-nyari
bungkus chiki merk "Anak baik" di supermarket dengan logo foto
wajahku😜
Setelah
mendaki gunung, lewati lembah, menyelami samudra... #gue sahabat ninja
hatori, muridnya Kera Sakti# saya menemukan bahwa setiap anak punya bawaan dan
potensi menjadi anak baik. Dari hasil observasi, studi literasi, semedi dan
ngaduk bubur hingga jadi nasi lagi, anak baik adalah anak yang memiliki
prinsip, mempercayai kemampuan dan bisa menjadi dirinya sendiri di segala macam
kondisi dan situasi...panas, terik, hujan badai *sambil nyanyi lagu Ibu Siti
N...😅Anak baik yaitu yang tindakannya digerakkan oleh pikiran yang sejalan
alias sinkron dengan nuraninya. Punya intergritas begitu sebutannya.Aaah.. jadi
macam mananya anak baik itu???!! Macam biskuit kah, cat rumah yang tahan segala
cuaca atau semacam smartphone yang
bisa kau setting-setting??! Jadi
bingung pula aku dibuatmu.. Ya semua.. anak baik itu bisa membawa dirinya
sesuai dengan situasi, kondisi dan "kebutuhan" lingkungannya.
Kepanjangan
yaaa penjelasannyaaa????!😅 Baiklah, langsung ke intinya saja. Setiap orang itu
memiliki nurani. Seorang anak, khususnya, akan tumbuh menjadi anak baik ketika
nuraninya diisi dengan nilai-nilai. Nilai tersebut harus ditanam dalam-dalam di
pikiran dan hati agar kelak mereka dewasa memiliki akar atau pondasi yang kuat.
Salah satu caranya adalah dengan pemberian pengertian dan pembiasaan akan
praktik dari perwujudan nilai-nilai tadi yang secara intensif dan konsisten.
Baiklah, sebelum Anda tertidur saya ingin menceritakan bentuk penanaman dan
pembiasaan nilai tersebut.
Saya
adalah seorang guru (a)mat(h)ir yang jam terbangnya masih...ibarat anak burung,
saya baru belajar terbang 3 cm dari permukaan tanah.. Namun demikian, saya
beberapa kali mendapat kesempatan belajar di beberapa sekolah dan bertemu
dengan banyak macam jenis guru. Dari kesempatan-kesempatan belajar tersebut,
saya paham bahwa dalam mendidik diperlukan kesabaran, ketegasan, kreativitas
dan kebijaksanaan di waktu bersamaan. Pemberian pengertian bukan semata-mata
mengatakan "jangan ini, jangan itu", "tidak boleh begini, tidak
boleh begitu", "harus bisa ini, harus bisa itu" kalau seperti
itu tak heran kenapa pernyataan spontan nan jujur terlontar "mama cerewet
banget siih", "Duh Ibu guru ini rewel (bawel) banget siiih..."
Memang cara ini cukup jitu, namun ternyata ada efek sampingnya (contohnya
saya). Karena belajar dari pengalaman tersebut, saya sedapat-dapatnya tidak
pakai "jangan" saat memberi pengertian. Saya belajar untuk
menjelaskan "sebab akibat" dari suatu pilihan dan tindakan yang
diambil. Selalu saya jadikan "your
choice is your risk and high risk (brings) high return" kepada anak
didik. Saya katakan, jika kamu pilih untuk tidur di kelas resiko yang kamu
dapat adalah bla...bla..bla.." contoh lainnya "jika kamu berani
mencoba meskipun jawabannya salah atau ditertawakan orang kamu akan mendapat
blaaa..blaa..blaa" Setelah memberi pengertian, langkah selanjutnya adalah
memberi teladan. Di awal tahun ajaran atau setiap pertama kali masuk kelas saya
hanya katakan "saya kurang menyukai keterlambatan. Salah satu cara saya menghormati
orang lain adalah dengan tepat waktu. Kita tidak pernah tau apa yang terjadi
dengan orang lain, mungkin sebelum atau sesudah berinteraksi (menghabiskan
waktunya) dengan kita mereka mengalami sesuatu. Saat kita terlambat, artinya
kita merampas atau membuang salah satu milik berharga yang dimiliki oleh
masing-masing kita- yakni waktu itu sendiri." Selanjutnya, saya selalu
biasakan masuk dan selesai kelas tepat pada waktunya. Sehingga suatu kali murid
saya berkata saat jam pelajaran saya selesai, "Lah, Bu kok cepat sekali
selesai?? Kan belnya belum bunyi (waktu istirahat pukul 10 tapi bel belum juga
berbunyi). Saya hanya menjawab, "waktu istirahat kalian jam 10 kan? 1
menit kalian bisa kalian pakai untuk turun tangga (ke kantin) sehingga kalian
punya waktu makan yang cukup (tidak perlu berlari-lari). Dan dari pojok kelas
saya mendengar celetukan, "coba semua guru kayak Ms. Phita.."
Kejadian lain, saya dididik oleh orang tua "selalu bayangkan bahwa kamu
anak raja, tanpa disuruh kamu harus bisa bertindak bijaksana karena hanya
pesuruh (maaf: pembantu) yang bertindak hanya tunggu diperintah. Salah satu
tindakan yang mencerminkan tingkah anak raja kalau lihat sampah bukan di
tempatnya, ambil dan taruh dimana sampah seharusnya berada meski itu bukan
sampahmu. Kalau liat posisi barang bukan pada tempat/posisinya, meski bukan
ulahmu, rapikan tanpa perlu diminta." Siang tadi saya berjalan dari arah
kantin menuju sekolah. Saat berjalan, saat punguti sampah yang ditangkap indra
penglihat saya. Saat itu kondisi lokasi sangat sepi bahkan memang tidak ada
orang karena waktu istirahat telah usai. Tiba-tiba dari belakang saya ada
seorang murid berkata, "Ms. Phita sendirian aja.. saya ikut bantu deh ya
Ms.." kemudian dia menyusul dan kami berjalan beriringan menuju ruangan
kami masing-masing sambil menghampiri tempat sampah terdekat. Kemudian ia
bertanya, "Ms. kok mau sih pungutin sampah begitu? Kan bau dan kotor Ms..
nggak takut baju Ms kotor dan bau?" Saya hanya tersenyum sambil berkata,
"Saya lebih takut kalau sekolah ini jadi sama seperti Bantar Gebang hanya
karena orang malas mencari tempat sampah. Nggak takut sekolahmu dikatakan orang
sebagai tempat pembuangan sampah? Nggak malu kalau sekolahmu diberi pandangan
jelek karena pemandangannya memang jelek hanya karena sampah berserakan?"
Anak didik saya pun terdiam dan tak berkata apa-apa sampai kami berpisah di
depan pintu ruang guru (berusaha menebak apa yang dipikirkan). Dan masih ada
beberapa cerita lainnya yang sering buat saya senyum-senyum sendiri. Saya bukan
ingin mengatakan bahwa saya sudah menjadi hebat, malah serignya saya merasa
deg-degan khawatir apabila justru perkataan saya mengajarkan sesuatu yang tidak
benar. Di sisi lain dengan menuliskan hal ini saya semakin mengerti sungguhlah
menjadi pendidik itu sangat tidak mudah. Tindakan lebih memiliki pengaruh dan
dampak signifikan ketimbang rangkaian kata-kata. Jadi ingat dulu seorang dosen
pernah berkata, “itulah pentingnya melakukan penelitian daripada sekadar
bertanya “mengapa masalah ini ada” dan “bagaimana menyelesaikan masalahnya?”
Dengan melakukan penelitian, ada tindakan disana. #cukuuuuuup...jangan
dilanjutkan!😅
Secara
keseluruhan, yang ingin saya sampaikan adalah sebelum mengharapkan seseorang
(anak) menjadi baik, bukankah kita yang dewasa (secara mental dan psikologis)
perlu terlebih dahulu menunjukkan bagaimana menjadi (sosok) yang baik itu.
Tentu lewat perkataan yang seirama dengan tindakan sebagaimana Bapak Benjamin
Franklin pernah berkata, "tell me and I forget. Teach me and I may
remember. Involve me and I learn": bahwa untuk membuat seseorang
belajar adalah dengan melibatkan mereka. Artinya, kita memberi ruang dan
kepercayaan untuk mereka (anak didik) "mengikuti" apa yang sedang
kita katakan, kerjakan, lakukan. Kita katakan dan lakukan yang baik dan
libatkan mereka di dalamnya. Daaan... tadaaaa... siap disajikan! Selamat
berkarya, para pembelajar!😇
#Catatan
pengingat 1
Comments
Post a Comment