Saat ini saya masih menghabiskan waktu
sebagai seorang guru privat. Suatu kehormatan bagi saya sering
dipercaya untuk belajar bersama anak-anak dan keluarga dari luar
Indonesia, beberapa di antaranya anak-anak berkebangsaan Timur Tengah
(Arab Saudi), Swiss dan saat ini belajar dari keluarga
Tionghoa-Singapura. Saya selalu bersyukur untuk setiap apa yang saya
peroleh dari berbagi (saya tidak begitu menyukai istilah "mengajar")
bersama anak-anak mereka dan tentu dari keluarga besarnya. Yang saya
maksud bukan soal upah dan nominalnya. Ini soal kepercayaan, serta ilmu
& wawasan mulai dari kebudayaan hingga hal2 yang tidak ditemukan
dalam buku pelajaran. Oh ya, saya juga selalu "terkejut" ketika mereka
tidak hanya memperlakukan saya sebagai seorang guru tapi juga sebagai
bagian dari keluarga mereka.
Sempat terheran-heran ketika saya
berhadapan dengan keluarga lokal yang tidak sedikit bertingkah kurang
menyenangkan hati: ingin semua-semua dituruti, harus selalu dipahami.
Kalau sudah begini, daripada makan hati saya sarankan mereka cari
pengganti.
Kondisi ini berbeda ketika saya bertemu
keluarga-keluarga asing tadi. Dibandingkan berbagi dengan keluarga lokal
yang saya temui, mereka bukan orang-orang biasa yang berstatus manager
atau supervisor di kantor2 yang ada di ibukota negara ini. Mereka
adalah pemimpin tertinggi bahkan pemilik dari perusahaan-perusahaan
besar tidak hanya di Jakarta, tapi di berbagai negara di dunia yang
memilih berdomisili di negara ini.
Saya pikir keluarga-keluarga ini baru
mengenal beras ketika berada di sini dan belum tentu tahu apa itu padi,
tapi mereka miliki itu ilmu padi "semakin berisi semakin merunduk".
Kantong dan rekening berisi dengan materi (bahkan berkelimpahan),
pikiran terbuka berisi wawasan luas dan ternyata hati mereka juga
berisi dengan kebaikan. Awalnya saya pikir "ah, palingan gara2 mereka
menumpang di negara orang makanya mereka bermanis-manis, mungkin di
negaranya mereka tidak demikian." Tapi ketika saya perhatikan, mereka
memperlakukan asisten mereka juga dengan sangat baik padahal mereka
mendatangkan asisten dari luar Indonesia. Juga dengan siapa pun yang
mereka temui, termasuk sekuriti. Saya melakukan kesalahan disini.
Justru mereka mengajarkan nilai2 kemanusiaan. Mereka manusia beradab
bukan makhluk biadab.
Oke, lalu siapa nenek yang dimaksud pada judul ceritamu? Baiklah, akan saya perkenalkan siapa dia.
Sedikit pengingat, saya tadi katakan saya menjadi teman belajar anak
dari keluarga Tionghoa-Singapura. Dalam berkomunikasi, mereka biasa
menggunakan bahasa Mandarin. Kecuali ketika ada saya mereka menggunakan
Bahasa Inggris atau Bahasa Indonesia, yang saya tahu mereka
menggunakannya sebaik mungkin yang mereka bisa. Dan ini juga satu poin
penting bagi saya bagaimana mereka menghormati saya.
Anggota keluarga
yang ada di "rumah" adalah ayah, ibu, anak laki-laki tunggal, nenek dan
4 orang asisten rumah tangga (ART). Semua anggota keluarga bisa
berbahasa Indonesia, kecuali nenek. Sang nenek hanya tahu & bisa
menggunakan bahasa Mandarin. Umur si nenek jika saya perkirakan sekitar
usia 70-80 tahun. Dengan memperhatikan tampilan fisik. Entah mengapa
saya selalu kagum & bahagia jika melihat sang nenek. Ketika dia tahu
hari saya akan datang, ia akan berdiri di depan lift dan menyapa saya
dengan senyumnya yang begitu hangat. Dulu saya pernah belajar Bahasa
Mandarin, saya hanya ingat beberapa kalimat seperti "apa kabar (Nǐ
hǎo!), terima kasih (Xièxiè ) dan menghitung 1-10. Jadi, dengan
keterbatasan itu, setiap saya melihatnya di depan lift saya akan
menyapanya dengan "Nǐ hǎo!" dan beliau akan semakin senang. Ketika
pertama kali dia mengetahui saya "mampu" berbahasa Mandarin dia
merangkul saya sambil mengacungkan jempol dan berkata-kata dalam bahasa
Mandarin yang saya tidak paham. Dugaan saya, ia memberi pujian
"bagus-bagus..." dan selebihnya saya hampa..hahaha
Dia sering
memberi saya makanan ketika ayah-dan ibu si cucu tidak disana. Atau
menyuruh asisten rumah tangganya untuk menyiapkan sesuatu. Atau menyuruh
cucunya untuk meminta ART menyajikan sesuatu. Biasanya, jika Ibu si
anak di rumah dia sendiri yang memasak dan menyajikan langsung untukku.
Hebat yaa beliau 😊😍
Sering nenek mengajak saya berbicara meskipun
saya pernah meminta tolong cucunya menjelaskan padanya bahwa saya tak
paham dan tak bisa berbahasa Mandarin. Tapi nenek tak peduli, selalu dia
mengajak saya berbicara. Sore, ini ketika saya akan pulang si nenek
berdiri di depan lift lalu tersenyum dan mengatakan sesuatu yang panjang
sekali.. tetapi saya sempat menangkap kata "Xièxiè". Ternyata, dari
balik pintu ruang santai ada ibu si cucu lalu menjelaskan "Lăoshī (Ibu
guru), katanya(ibu saya) terima kasih banyak mau nemenin cucu saya
belajar. Semakin kesini anak saya makin pintar dan makin baik sama dia
(ibunya). Soalnya dulu-dulu anak saya suka jail..usil gitu sama
neneknya," dengan aksen dan logat Chinesenya. Saya kembali melihat mata
si nenek dan saya bisa merasakan ungkapan terima kasihnya begitu tulus.
Ah nenek, seandainya saya bisa berbahasa Mandarin akan saya ajak nenek
ngopi sambil ngemil pangsit goreng bersama dan saya ceritakan rahasia
"menjinakkan" cucumu yang menurut cerita mama dan papanya dianggap anak
nakal di sekolah.
Teringat seorang Ibu dari mantan murid di
sekolah dulu, yang kerjanya suka protes ini itu. Kata "tolong" dan
"terima kasih" seolah mantra yang bisa mendatangkan sial sehingga
pantang diucapkan. Apalagi untuk kata "maaf" padahal sama-sama sadar
kalau si anak dan ibunya yang khilaf. Kalau begitu inginnya saya nyanyi
"malu aku malu.. pada kamu Ibu.. yang berbaris di dinding menatapku
curiga.." atau "bencinya hati ini, Ibu.. namun aku rindu.."
ass.....u..dahlah.. mungkin ketika nanti sudah jadi nenek-nenek mereka
akan berubah.
Sesungguhnya, dari sekian banyak poin yang saya
pelajari si nenek kembali mengingatkan dan mengajarkan saya bahwa ucapan
terima kasih itu tidak hanya membesarkan hati orang lain. Beliau
mengajarkan saya bahwa ungkapan tersebut ketika perlu dan harus
diungkapkan ya dikeluarkan, jangan ditahan-ditahan. Meski kata-kata
dalam kamusmu terbatas, nek, tapi tidak membuatmu kehilangan akan makna
dan memaknai kehidupan sesungguhnya. Kau mungkin tahu arti kata gengsi,
tapi kau memilih untuk menghilangkannya. Kau mengajarkanku bahwa gengsi
tak akan membawa kita kemana-mana. Sebaliknya, kejujuran bersamaan
dengan ketulusan tidak akan membuatmu rendah melainkan menaikkan
derajatmu jauh makin tinggi. Dan mereka yang menerima atau mendengarnya
juga ikut naik dan menjadi besar. Bukan menjadi tinggi hatinya, justru
merendahkan hati dan tidak akan membiarkan orang lain berada pada posisi
rendah diri. Angka usiamu yang besar tidak membuatmu jadi besar kepala.
Padahal bisa saja kau diam, mengingat siapalah aku ini. Anak ingusan
yang makan saja masih berantakan.
Ah nenek.. bersyukur aku bisa
bertemu denganmu. Menghabiskan waktu kurang dari 5 menit bersamamu jauh
lebih bermanfaat & menyenangkan daripada duduk berjam-jam bahkan
selama berbulan- bulan di kelas pendidikan karakter, kelas agama atau
kelas pendidikan moral. Semoga kau selalu berbahagia setiap hari dan
kebaikan hatimu dirasakan oleh siapa pun yang mengenalmu dan
membagikannya ke orang lain. Terima kasih, nenek. Xièxiè nín, popo..💖😇
Comments
Post a Comment