Tuhan,
aku tak tahu kapan waktuMu untuk memanggilku pulang.
Sesungguhnya, itu adalah hal yang selalu kutunggu.
Namun, ada saat dimana aku bimbang dan ragu.
Maka, berkenankah kah Kau untuk mengabulkan doaku "Tundalah dulu, karena aku masih belum siap. Belum mampu untuk menghadapMu dan bertanggung jawab atas hidup yang Kau beri selama aku di dunia dan berkelana sebagai rantau."
Dan sebelum tiba waktu itu, aku ingin pastikan bahwa hal-hal penting dalam hidupku harus terlaksana, semua terpenuhi. Dari ke sekian banyak hal itu, izinkan ku tuliskan karena tak mampu kusampaikan secara lisan.
Aku ingin ayahku tau tentang perasaanku selama ini padanya. Bahwa aku ingin mengenalnya sebagai ayah. Aku ingin mengatakan bahwa setiap hari aku merindunya. Aku ingin dia paham bahwa aku ingin menghabiskan banyak waktuku untuk bercerita dengannya, bercanda dan mendengar tawanya. Aku haus akan kasih sayang dan petuah serta nasihat darinya yang orang banyak bilang menjadi penentu masa depannya.
Aku ingin dia tahu bahwa aku membencinya karena aku bersamanya setiap hari tapi tak bisa memilikinya, atau bahkan mencuri semenit dari waktunya hanya untuk saling menyapa. Aku ingin dia tahu bahwa sesungguhnya setiap hari aku ketakutan, aku tak bisa menentukan pilihan atau bahkan mengambil sebuah tindakan.
Aku rindu ayahku.. Tak sanggup aku bila harus menyapanya duluan karena aku takut akan penolakan. Lihat kan?? Bagaimana aku bisa tangguh menghadapi getirnya kehidupan jika berbicara dengan ayah sendiripun aku ketakutan?? Aku iri dengan teman-teman atau orang yang bahkan tak ku kenal bercerita betapa bangganya mereka dengan ayah mereka. Mereka punya prinsip karena belajar dari sang ayah. Mereka punya ide cemerlang karena terinspirasi dari si ayah, perjuangannya, kisahnya sampai pada leluconnya. Aku juga ingin mengatakan pada dunia bahwa aku punya ayah hebat. Tapi kalau mereka bertanya, "apa hebatnya ayahmu?" Aku kuatir jika tiba2 bibir ini kelu, muka pucat lalu aku kabur karena tak berani menanggung malu. Tak punya jawab atas pertanyaan itu.
Sungguh Tuhan, hanya itu rasanya beban terbesarku. Menyimpan rasa yang tak bisa kusebut biasa...bahwa aku perlu ayahku.. aku ingin bisa menatap matanya dan berkata, "ayah, aku menyayangimu." Aku tak ingin membawa rasa itu sampai ke rumah terakhirku, ke tempat perhentian dimana aku ingin istirahat dengan tenang- selamanya.
Tertanda,
Raphita
aku tak tahu kapan waktuMu untuk memanggilku pulang.
Sesungguhnya, itu adalah hal yang selalu kutunggu.
Namun, ada saat dimana aku bimbang dan ragu.
Maka, berkenankah kah Kau untuk mengabulkan doaku "Tundalah dulu, karena aku masih belum siap. Belum mampu untuk menghadapMu dan bertanggung jawab atas hidup yang Kau beri selama aku di dunia dan berkelana sebagai rantau."
Dan sebelum tiba waktu itu, aku ingin pastikan bahwa hal-hal penting dalam hidupku harus terlaksana, semua terpenuhi. Dari ke sekian banyak hal itu, izinkan ku tuliskan karena tak mampu kusampaikan secara lisan.
Aku ingin ayahku tau tentang perasaanku selama ini padanya. Bahwa aku ingin mengenalnya sebagai ayah. Aku ingin mengatakan bahwa setiap hari aku merindunya. Aku ingin dia paham bahwa aku ingin menghabiskan banyak waktuku untuk bercerita dengannya, bercanda dan mendengar tawanya. Aku haus akan kasih sayang dan petuah serta nasihat darinya yang orang banyak bilang menjadi penentu masa depannya.
Aku ingin dia tahu bahwa aku membencinya karena aku bersamanya setiap hari tapi tak bisa memilikinya, atau bahkan mencuri semenit dari waktunya hanya untuk saling menyapa. Aku ingin dia tahu bahwa sesungguhnya setiap hari aku ketakutan, aku tak bisa menentukan pilihan atau bahkan mengambil sebuah tindakan.
Aku rindu ayahku.. Tak sanggup aku bila harus menyapanya duluan karena aku takut akan penolakan. Lihat kan?? Bagaimana aku bisa tangguh menghadapi getirnya kehidupan jika berbicara dengan ayah sendiripun aku ketakutan?? Aku iri dengan teman-teman atau orang yang bahkan tak ku kenal bercerita betapa bangganya mereka dengan ayah mereka. Mereka punya prinsip karena belajar dari sang ayah. Mereka punya ide cemerlang karena terinspirasi dari si ayah, perjuangannya, kisahnya sampai pada leluconnya. Aku juga ingin mengatakan pada dunia bahwa aku punya ayah hebat. Tapi kalau mereka bertanya, "apa hebatnya ayahmu?" Aku kuatir jika tiba2 bibir ini kelu, muka pucat lalu aku kabur karena tak berani menanggung malu. Tak punya jawab atas pertanyaan itu.
Sungguh Tuhan, hanya itu rasanya beban terbesarku. Menyimpan rasa yang tak bisa kusebut biasa...bahwa aku perlu ayahku.. aku ingin bisa menatap matanya dan berkata, "ayah, aku menyayangimu." Aku tak ingin membawa rasa itu sampai ke rumah terakhirku, ke tempat perhentian dimana aku ingin istirahat dengan tenang- selamanya.
Tertanda,
Raphita
Comments
Post a Comment